Suku Kajang Dalam

Posted on
  • Selasa, 31 Januari 2012
  • by
  • in
  • Label:

  • Hitam adalah lebih dari sebuah identitas. Hitam, sebuah warna kesakralan yang kental. Hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila kita memasuki kawasan ammatoa pakaian kita harus berwarna hitam. Warna hitam mempunyai makna bagi Mayarakat Ammatoa sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. Tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta. Kesamaan dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan, utamanya kelestarian hutan yang harus di jaga keasliannnya sebagai sumber kehidupan. 

    Hingga hari ini mereka masih mendiami ranah kebudayaan Sulawesi Selatan. Meski perlahan tergerus imbas pergeseran zaman, para lelakinya masih setia memakai penutup kepala khas yang disebut Passapu dan sarung yang biasa juga disebut Tope Lelleng (sarung hitam). Kaum perempuannya memakai kain yang semuanya juga serba berwarna hitam.


    Suku Kajang atau yang lebih dikenal dengan Suku Adat Ammatoa atau Suku Kajang Dalam di Bulukumba adalah sebuah suku klasik yang masih kental akan adat istiadatnya yang sangat sakral.  Masyarakat Kajang bisa dijumpai di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. 

    Suku Kajang Dalam di Bulukumba
    Suku Kajang Dalam lebih teguh memegang adat dan tradisi moyang mereka dibanding penduduk Kajang luar yang tinggal di luar perkampungan. Rumah-rumah panggung yang semuanya menghadap ke barat tertata rapi, khususnya yang berada di Dusun Benteng tempat rumah Amma Toa berada. Tampak beberapa rumah yang berjejer dari utara ke selatan. Di depan barisan rumah terdapat pagar batu kali setinggi satu meter. Rumah Amma Toa berada beberapa rumah dari utara.

    Rumah Adat Suku Kajang secara fisik tidak jauh berbeda dengan rumah adat masyarakat Bugis Makassar. Struktur yang tinggi dan masih mempergunakan kekayaan hutan disekitar untuk membuatnya.

    Sehari-hari mereka menjalin komunikasi dengan menggunakan bahasa daerah Konjo. Masyarakat adat Ammatoa tinggal berkelompok dalam suatu area hutan yang luasnya sekitar 50 km. Mereka menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal moderenisasi, kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Mungkin disebabkan oleh hubungan masyarakat adat dengan lingkungan hutannya yang selalu bersandar pada pandangan hidup adat yang mereka yakini. (*)